[Review Buku] Refleksi Keberadaan Manusia dalam Cerita Pendek Buku Sesat Pikir Para Binatang Karya Triyanto Triwikromo
Judul Buku : Sesat Pikir Para Binatang
Penerbit : PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Pengarang : Triyanto Triwikromo
Halaman : 175
Tahun : 2016
Hello Guys!!
Pernahkah kalian bertanya pada diri sendiri? Apa yang membedakan manusia dengan hewan? Apa peran manusia dalam kehidupan dunia?
Jika pernah, sekiranya kamu butuh membaca buku karya Triyanto Triwikromo yang berjudul Sesat Pikir Para Binatang untuk menemukan jawabannya. Sekilas, dari judulnya saya mengira bahwa buku ini penuh dengan fabel. Buku tersebut utuh dengan kisah para hewan yang berperilaku sebagai manusia, mungkin seperti buku Animal Farm karya George Orwell. Akan tetapi, tak semua cerpen di buku ini berisi fabel.
Kamu yang nantinya akan membaca buku ini, pasti paham bahwa Triyanto memberikan nuansa yang berbeda. Dia secara langsung memutarbalikkan pengertian fabel itu sendiri. Dalam buku ini, dia menggambarkan manusia yang memiliki watak seperti binatang. Bukan sebaliknya. Oleh karena itu, buku ini cocok sekali untuk kamu yang ingin merefleksikan hidup.
Buku Sesat Pikir Para Binatang terdiri dari 14 cerpen, yaitu; Setelah Pembunuhan Pertama, Lembah Kematian Ibu, Cahaya Sunyi Ibu, Sihir Suresh, Tak Ada Eve di Champ-Elysees, Bunga Lili Di Tenda Pengungsi, Cara Bodoh Mengolok-Olok Quentin Tarantino, Semacam Gangguan Kecil Pada Tawa Tuhan, Serat Bolonggrowong dan Buku-Buku Lain yang Dibakar Oleh Polisi Agama, Samin Kembar, Penguburan Kembali Sitaresmi, Serigala Di Kelas Almira, Jalan Bahagia Para Pembunuh Buaya, dan Sesat Pikir Para Binatang.
Triyanto mengawali kisah dengan cerita pertamanya tentang perjuangan tokoh utama, Kain dalam menghadapi keputusannya sebagai pembunuh berantai. Dalam cerpen yang berjudul Setelah Pembunuhan Pertama, Kain seolah-olah mempertanyakan tentang keberadaan serta peran dirinya. Walaupun Kain membunuh dengan terpaksa, dia harus menanggung dosa tanpa sedikitpun pengampunan. Ironis bukan?
Sejalan dengan tokoh-tokoh lain di cerpen yang berjudul Lembah Kematian Ibu, Cahaya Sunyi Ibu, Tak Ada Eve di Champ-Elysees, dan Bunga Lili di Tenda Pengungsi. Para tokoh sekilas mengalami nasib serupa, tetapi dengan permasalahan yang berbeda-beda. Mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa segala keputusan yang membentuk dirinya harus berbenturan dengan kenyataan orang lain. Oleh karenanya, berbeda pula penyelesaian yang dilakukan setiap tokoh. Namun, semua itu manusiawi.
Tidak hanya itu, buku ini juga memberi jawaban atas nilai-nilai kemanusiaan yang hilang. Hal itu tertuang dalam cerpen yang berjudul Samin Kembar, Penguburan Kembali Sitaresmi, Serigala di Kelas Almira, dan Jalan Bahagia Para Pembunuh Buaya. Cerpen-cerpen itu membawa pesan tentang penerimaan serta pemenuhan hak-hak orang lain.
Di sisi lain, cerpen dengan tema-tema berbeda juga menambah refleksi para pembaca. Seperti tema filsafat dalam Sesat Pikir Para Binatang dan Serat Bolonggrowong dan Buku-Buku Lain Yang Dibakar Oleh Polisi Agama, tema kriminal-misteri dalam Sihir Suresh, dan kritik seni dalam Cara Bodoh Mengolok-Olok Quentin Tarantino dan Semacam Gangguan Kecil Pada Tawa Tuhan.
Kelebihan buku terletak pada setiap cerita yang memiliki satu tema yang menonjol, tetapi sedikit menyinggung tema lainnya. Buku tersebut sukses menggambarkan tentang bagaimana manusia harus bertahan melawan nafsu binatangnya. Buku ini juga unik dengan gaya bahasa pengandaian untuk menyatakan pesannya.
Kelebihan lainnya terletak pada tebal halaman yang tak terlalu banyak, sekiranya cukup untuk menemani waktu luang para pembaca. Dalam buku juga terdapat ilustrasi yang memanjakan mata. Ilustrasi digambar oleh seniman asal Semarang bernama Kokoh Nugroho. Ia merupakan seniman yang aktif dalam kegiatan pameran di Galeri Nasional (2013) serta mengelola Group Rumah Pensil.
“Ditengah-tengah kehidupan yang kian keras, liar, dan buas mereka tetap berusaha menjadi manusia. Manusia yang ringkih dan fana.”
Buku ini direkomendasikan untuk kalian!