Buanglah Hajat pada Tempatnya: Bukan Perbincangan Tinja Biasa
Buanglah Hajat pada Tempatnya | Rio Johan | 2020 | 389 halaman | KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) | Jakarta
Membicarakan tahi, tinja, feses, atau apa pun itu disebutnya, tidak pernah semenyenangkan ini. Jika biasanya tinja identik dengan bau, kotor, dan menjijikkan, dalam buku ini pun begitu. Tinja masih digambarkan bau, kotor, dan menjijikkan, hanya saja menjadi hal yang cukup diagungkan dalam buku berlatar pos-apokaliptik ini.
Di dunia yang para tokohnya hidup dalam satu naungan kubah, buang air besar menjadi satu proses sakral nan menyusahkan karena hanya tersisa satu toilet di sana. Artinya, para tokoh, seluruh manusia yang tinggal di sana, harus bergantian menggunakan toilet yang tinggal satu itu, tidak peduli betapa kebeletnya ia.
Yang memperparah keadaan, entah bagaimana sejarahnya — karena para tokoh pun tidak mengetahui persisnya, para manusia di dalam kubah ini harus mengambil nomor urut jika ingin menggunakan toilet. Tidak tanggung-tanggung, ketiga penutur cerita alias tokoh utama dalam cerita ini, sedang tidak beruntung sehingga mendapatkan nomor urut #324, #325, dan #326. Nomor yang cukup besar untuk urutan buang air besar, bukan? Namun, dari nomor urut yang cukup sial itulah justru cerita dalam novel ini dimulai.
Cerita dalam buku ini tidak hanya berfokus pada betapa menyusahkannya bagi ketiga tokoh mengantre sambil menahan hasrat buang air besarnya. Tentu, menunggu tiga ratus sekian nomor sambil menahan agar saluran ekskresi tidak lepas kendali bukanlah hal mudah.
Dengan kegelisahan tersebut, Si Nomor Urut #326 yang digambarkan sebagai seorang bapak tua, memanfaatkan kesempatan untuk berbagi segudang cerita tentang tinja di masa lampau pada kedua anak muda yang mengantre di depannya. “Lebih baik mengantre sambil mendengarkan cerita ketimbang menunggu tanpa melakukan apa pun sama sekali,” sebut Si Bapak Tua #326 berkali-kali untuk terus melanjutkan kisah-kisahnya.
Dari premis sederhana inilah, Rio Johan — Sang Penulis — menyajikan sebuah formula unik: cerita dalam cerita. Maka, cerita-cerita tentang tinja yang tiada habisnya dikisahkan oleh Si Bapak Tua #326 itu lah yang membangun bab-bab dalam novel ini. Meski begitu, pembaca tidak sepenuhnya dibawa tenggelam dalam kisah “lain” yang dipaparkan oleh Si Bapak Tua #326, karena Rio Johan masih sesekali menyisipkan reaksi-reaksi dari #324 dan #325 di tengah cerita.
Narasi yang dibawakan pun memosisikan pembaca seolah-olah hadir di antara ketiga tokoh utama sambil mendengarkan celotehan Si Bapak #326 dengan saksama. Penggunaan ungkapan semacam, “…kau tahu kan, anak muda?” beberapa kali di tengah pemaparan cerita seakan mengingatkan para pembaca bahwa fokus utama dari novel ini adalah tiga manusia yang tengah mengantre, bukan manusia-manusia yang hidup di zaman-entah-kapan dalam cerita bergilir si Bapak Tua.
Entah karena cerita-cerita yang dibawakan oleh Si Bapak Tua #326 mengambil latar yang mungkin seratus, seribu, bahkan sejuta tahun dari kehidupan masa kini, apa yang terjadi dalam beberapa cerita justru menjadi kompleks. Di beberapa bab, kisah banyak menggunakan istilah-istilah ilmiah semacam senyawa dan sebagainya.
Siapa sangka, kisah mengenai tinja bisa menjadi serumit dan se-saintifik itu? Dan juga, cerita-cerita tersebut sedikit banyak menjadi satir dan parodi atas kondisi masa kini — selain tersirat cukup jelas, Rio juga menyebutkannya pada ucapan terima kasih buku ini. Pernah terbayang untuk mengkritik kondisi dengan menggunakan tinja sebagai titik utama cerita? Nah, jika belum, silakan temukan keseruannya dalam buku ini.
Ditulis oleh Hafiza Dina Islamy