Bincang Buku Kitab Kawin Karya Laksmi Pamuntjak

Kumpulbaca
3 min readMar 21, 2022

--

Halo Teman Baca!

Pada tanggal 19 Maret 2022, Kumpulbaca kembali mengadakan bincang buku yang berjudul Kitab Kawin karya Laksmi Pamuntjak. Bincang buku dilaksanakan secara online yang dibawakan oleh Kak Ayu sebagai pembedah dan Kak Reza sebagai host. Walaupun dilaksanakan secara online kegiatan tersebut berjalan dengan lancar.

Buku Kitab Kawin merupakan kumpulan cerpen yang terdiri dari 11 cerpen, diantaranya; Rosa dan Empat Lelaki, Azul Maya, Selingkuh untuk Mencintai dengan Lebih Baik, Istri Abangku, Tidur dengan Seniman Besar, Kisah Mukaburung, Sang Pemuja, Pembunuhan Pukul Delapan Malam, Penjara Esmeralda, Anna dan Partner Anaknya, dan Asrama Korea. Sebelas cerpen tersebut memiliki garis besar yang sama, yaitu problematika hubungan manusia dengan manusia lainnya dan cara mereka menyikapinya. Dalam buku sering ditemui masalah ketidakpuasan, perampasan hak dan ruang bebas, hegemoni kuasa, serta toxic relationship. Problematika dalam buku berakar dari konstruksi sosial yang sudah ada. Demikian itu, bentuk kebudayaan serta pengetahuan yang sudah mapan ikut serta dalam inspirasi isi cerita.

Dalam buku, beberapa cerita sangat kental dengan masalah kesetaraan gender yang erat kaitannya dengan feminisme. Hal tersebut dipantik oleh Kak Reza yang bertanya, “Kenapa masih ada stigma negatif tentang feminisme dan LGBT di Indonesia?”

Di Indonesia, pembahasan tentang feminisme masih dianggap tabu. Walaupun tak bisa digeneralisir, penerimaan keberadaan dan pembahasan feminisme masih disikapi dengan kewaspadaan. Mengkaji lebih dalam, terkadang pembahasan feminisme di Indonesia sering berbenturan dengan kebudayaan dan agama. Sebab, di Indonesia terdiri dari beragam budaya dan ideologinya yang agamis. Sila kesatu yang berbunyi, “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Kak Ayu yang memberi contoh kebanyakan kasus di Jawa Timur, yaitu terjadinya wanita muda yang harus menikah muda karena kemauan orang tuanya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip feminisme yang meletakkan independensi wanita sebagai laku hidup. Pernikahan bukan lagi menjadi hak pribadi wanita.

Menurut Kak Away — peserta dalam diskusi buku — karya-karya Laksmi Pamuntjak sangat kental dengan masalah kota-kota besar. Salah satunya praktik patriarki, ideologi yang bertentangan dengan feminisme karena dinilai mendiskreditkan peran wanita. Hal tersebut sering terjadi di kota-kota besar, entah dilakukan dengan sadar atau tidak sadar. Diskusi kembali meriah saat Kak Reza bertanya di balik gunung, “Seberapa jauh batasan terhadap budaya di Indonesia yang tak menguntungkan wanita?” Kak Ayu menjawab bahwa sebenarnya batasan tersebut hanya bisa diketahui apabila setiap wanita sadar kalau dia menderita. “Jika beberapa wanita tidak merasa menderita, apakah hal itu menjadi masalah?”

(Goodreads.com)

Kesadaran dibentuk oleh pengetahuan, cara berpikir, lingkungan, serta pengalaman hidup seseorang. Di sisi lain, kesadaran juga membantu manusia dalam mengidentifikasi dan merasakan apapun. Dalam konteks kesadaran wanita akan hak dan perannya, apakah kondisi di Indonesia sudah mendukung hal tersebut secara kultural maupun sosial?

Untuk itu buku ini hadir sebagai salah satu media menuju kesadaran tersebut. Dengan penyampaian melalui cerita, fenomena diharapkan mampu merangsang pembaca untuk berpikir ulang dalam menyikapi feminisme, khususnya di Indonesia. Setiap cerita dalam buku relevan dengan kondisi sekarang, membuat isu terjaga kehangatan dan pentingnya. Sebab, diskursus mengenai feminisme bukanlah soal ada-tiada feminisme, tetapi tetap terjaganya diskursus yang telah ada.

Ditulis oleh Muhammad Farhan Alfiansyah

--

--

Kumpulbaca
Kumpulbaca

Written by Kumpulbaca

Komunitas membaca buku yang mendukung gerakan #SejamMembaca untuk generasi bangsa yang lebih bermartabat! Instagram : https://www.instagram.com/kumpulbaca/

No responses yet